Segala puji
hanya milik Allah
SWT. Shalawat dan
salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW.
Berkat limpahan nikmat
dan rahmatNYA penyusun mampu menyelesaikan laporan praktikum ini
guna memenuhi tugas
mata kuliah parasitologi
veteriner. Dalam penyusunan tugas
atau materi ini,
tidak sedikit hambatan
yang penulis hadapi. Namun
penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat
bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang
penulis hadapi teratasi.
Makalah
ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu mengenai parasit yang
berhubungan dengan dunia kedokteran hewan,
yang disajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai
sumber informasi dan referensi. Semoga tugas ini dapat memberikan
wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada
pembaca khususnya para
mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas
Syiah Kuala. Saya
sadar bahwa tugas
ini masih banyak kekurangan
dan jauh dari
sempurna. Untuk itu
kepada pembaca saya meminta
masukannya demi perbaikan
pembuatan tugas di
masa yang akan
datang.
Banda
Aceh, 27 Mei 2015
Penyusun
PEMBAHASAN
CESTODA
Cacing
saluran pencernaan merupakan salah satu jenis penyakit yang sering di-jumpai
dalam usaha peternakan, kejadian ini dapat menurunkan laju pertumbuhan dan
kesehatan ternak, sebab sebagian zat makanan di dalam tubuhnya juga dikonsumsi
oleh cacing hingga menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Keadaan ini dapat
pula menyebabkan ternak menjadi lebih sensitif terhadap berbagai penyakit yang
mematikan. hasil survai di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukan 90 %
sapi yang berasal dari peternakan rakyat mengidap cacing saluran pencernaan.
(Purwanta et al. 2009).
Infeksi cacing
parasit usus pada sapi dan kerbauakan mengurangi fungsi kemampuan mukosa usus
dalam transpor glukosa dan metabolit lainnya. Apabila ketidak seimbangan ini
cukup besar, akan menyebabkan menurunnya nafsu makan, serta tingginya kadar
nitrogen di dalam tinja yang dibuang karena tidak dipergunakan. Akibatnya
keterlambatan pertumbuhanakan terjadi, terutama pada ternak mudapada masa
pertumbuhan. Oleh karena itu infeksi cacing parasit usus akan bersifat
patogenik, terutamajika bersamaan dengan kondisi pakan ternak yang buruk.
(Erwin et al. 2010).
Beberapa parasit
cestoda pada hewan ada yang bersifat zoonosis dan salah satu diantaranya adalah
genus Echinococcus . Echinococcus sp. Adalah cacing kecil (panjang <1cm) yang daur
hidupnya melibatkan dua Cacing dewasanya
hidup di dalam usus kecil (intestine) hewan carnivora, terutama anjing
sebagai induk semang definitive/ISD (Definitive Host), sedangkan stadium
larvanya (hidatid) hidup di dalam tubuh hewan ungulata (misalnya, domba, sapi,
babi, kuda, onta, dsb) sebagai induk semang antara/ISA (Intermediate Host).
Di dalam usus, Echinococcus sp.
memproduksi telur yang dikeluarkan bersama feses anjing, sehingga dapat
mencemari lingkungan. Bila telur tersebut termakan oleh ISA, akan berkembang
dan membentuk kista yang menyerupai tumor di dalam organ tubuh inangnya,
terutama pada organ hati dan paru-paru. Manusia dapat terinfeksi parasit
tersebut secara asidental, bila ia tertelan oleh telur cacing infektif melalui
jari tangannya atau makanan yang terkontaminasi feses anjing tersebut.
(Tarmudi. 2012).
Taksonomi Dipylidium caninum
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Species : D. Caninum
Kingdom : Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Order : Cyclophyllidea
Family : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Species : D. Caninum
Cestoda atau cacing
pita merupakan cacing berbentuk pipih yang hidup parasit.dikepala cacing pita
terdapat kait yang mengait pada usu organisme inang. Tidak seperti cacing
lainya, cacing pita memiliki tubuh yang terbagi menjadi beberapa bagian yang
disebut proglotid. Cacing pita harus terus membuat proglotid baru dibelakang
kepalanya. Proglotid adalah calon individu baru , sama dengan satu individu
yang utuh. Cacing pita bervariasi dalam hal panjang danbanyaknya proglotid
dalam tubuh. (Fikctor et Moekti. 2011).
Kepala (skoleks) dilengkapi dengan lebih dari dua alat
pengisap. Sedangkan setiap segmen yang menyusun strobila mengandung alat
perkembangbiakan. Makin ke posterior segmen makin melebar dan setiap segmen
(proglotid) merupakan satu individu dan bersifat hermafrodit. Tubuhnya terdiri
dari rangkaian segmen-segmen yang masing-masing disebut Proglottid. Kepala
disebut Skoleks dan memiliki alat isap (Sucker) yang memiliki kait (Rostelum)
terbuat dari kitin. Pembentukan segmen (segmentasi) pada cacing pita disebut
Strobilasi. Rostellum berfungsi untuk
melekat pada organ tubuh inangnya. Setiap proglotid mengandung organ kelamin
jantan (testis) dan organ kelamin betina (ovarium). Tiap proglotid dapat
terjadi fertilisasi sendiri.dan mempunyai rumah tangga sendiri ( metameri).
Proglotid dapat melepaskan diri (strobilasi) dan keluar dari tubuh inang utama
bersama dengan tinja. Cacing ini biasanya hidup sebagai parasit dalam usus
vertebrata dan tanpa alat pencernaan.
Siklus hidup cacing
pita mirip dengan cacing pipih, mereka melibatkan satu,dua atau tiga organisme
inang. Beberapa cacing pita pada manusia dapat ditularkan melalui daging babi
yang tidak terinfeksi dan tidak dimasak dengan baik, daging terrsebut
mengandung larva cacing pita. Contoh cacing pita yang biasa dikenal adalah Taenia solium
dan Taenea saginata. Larva Taenea solium hidup di
tubuh babi, sedangkan larva Taenea saginata hidup di tubuh
sapi. (Fikctor et Moekti. 2011).
Taenia merupakan
salah satu cacing pita yang termasuk dalam kerajaan Animalia, filum Platyhelminthes,
kelas Cestoda, bangsa Cyclophyllidea, familiTeniidae.
Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting yangmenginfeksi
manusia, babi, sapi, dan kerbau Panjang dan tubuhtaenia terdiri atas
rangkaian segmen-segmen yang masing-masing disebut proglotid Kepala cacing pita disebut skoleks dan
memiliki alat isap (sucker) yang mempunyai tonjolan (rostelum).
Larva dari cacing taeniadisebut metacestoda, menyebabkan penyakit
sistiserkosis pada hewan. Terdapattiga spesies penting cacing pita Taenia,
yaitu T. solium, T. saginata, dan T. asiatica Ketiga
spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit
pada manusia, yang dikenal dengan istilah taeniasis. (Hertati Anriani. 2013).
Cacing Cestoda
mempunyai ciri-ciri tubuh bersegmen, mempunyai scolex
(kepala), colum (leher), proglotida
(telur berembrio), hermaprodit, reproduksiovipar, kadang-kadang berbiak dalam
bentuk larva dan infeksi umumnya olehlarva dalam kista. Menurut Arifin dan
Soedharmono (1982), cacing cestoda yanghidup dalam usus kecil sapi dan kerbau
yaitu Moniezia sp. dan Taenia sp. Taeniasaginata adalah
Cestoda yang menginfeksi ruminansia. Cacing ini disebut jugacacing tanpa
senjata karena scolexnya tidak mempunyai kait. Ukurannya lebihpanjang daripada Taenia
solium. (Muhammad Rofiq. 2014).
Proglotid
semakin masuk ke arah ujung posterior tubuh cacing pita. Ujung segmen, teutama
terutama pada family cestoda yang primitif dapat lepas pada stadium awal
perkembangan untuk hidup dan dewasa secara mandiri didalam usus hospest.
Meskipun demikian, pada umumnya ujung proglotida yang gravid( masak) tersebut
merupakan kantung yang penuh berisi telur. (Charles Rangga. 2012).
Cacing
pita tidak menimbulkan lesi yang
ekstensif pada usus. Kerugian yang ditimbulkan cacing tersebut berhubungan dengan adanya kompetisi terhadap nutrien didalam usus hostpes. Infeksi cacing pita
pada unggas disebut sestodiasis, Istilah tersebut lebih tepat daripada istilah taeniasis
karna cacing pita pada unggas
tidak tidak lagi dimasukan dalam genus Taenia. Gejala klinik akibat infeksi
cacing pita meliputi kelemahan umum, Bulu kering dan berdiri, nafsu makan tetap
baik tetapi mengalami penurunan berat badan. (Charles Rangga. 2012)
Proglotid Taenia dapat
dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia
juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya .
cacing dewasa akan melepaskan segmen gravid yang paling ujung dan bisa pecah
didalam usus, sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita.
Apabila telur cacing yang keluar bersama feses mengkontaminasi tanaman rumput
dan termakan oleh ternak sapi, telur cacing kemudian akan pecah didalam usus
sapi (hospes perantara) dan mengakibatkan lepasnya onkosfer . Dengan
bantuan kait, onkosfer mampu menembus dinding usus, masuk kedalam aliran
darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh sapi, terutama ke otot lidah, leher,
jantung dan otot-otot gerak. (Hertati Anriani 2013).
Pada taenea solium Reproduksi dan daur hidup Taenia solium dimulai dari lepasnya proglotid
tua bersama feses dari tubuh manusia. Tiap ruas berisi ribuan telur yang telah
dibuahi. Kemudian, ruas-ruas tersebut hancur dan telur yang telah dibuahi bisa
tersebar ke mana-mana. Zigot terus berkembang membentuk larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika
telur termakan babi, kulit telur dicerna dalam usus, dan larva onkosfer
menembus usus masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe dan akhirnya masuk ke
otot lurik. Di otot, larva onkosfer berubah menjadi kista yang terus membesar
membentuk cacing gelembung (sistiserkus). Pada dinding sistiserkus
berkembang skoleks. Jika seseorang memakan daging tersebut yang belum matang,
kemungkinan sistiserkus masih hidup. Di dalam usus manusia yang memakannya,
skoleks akan keluar dan akan menempel pada dinding usus, sedangkan bagian gelembungnya
akan dicerna. Dari “leher”. kemudian akan tumbuh proglotid-proglotid.
Selanjutnya, proglotid tua akan menghasilkan telur yang telah dibuahi.
DAFTAR PUSTAKA
·
Anriani, Hertati. 2013. Crude Antigen Cystisercus Taenia Saginata Isolat
Bali Untuk Deteksi
Sistiserkosis Pada Sapi.
Denpasar : Universitas Udayana.
·
Erwin et al. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing
Parasit Usus Pada
Ternak
Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) Di Rumah Potong Hewan Palembang.
Sumatra Selatan : Jurnal Penelitian
Sains. Edisi Khusus Juni 2010 (D) 10:06-11.
·
Fikctor et Moekti. 2011.
Praktis Belajar Biologi. Jakarta : Visindo
Media
Persada.
·
Tarmudi. 2012. Ekinokokosis/Hidatidosis,
Suatu Zoonosis Parasit
Cestoda Penting Terhadap Kesehatan Masyarakat. Bogor :
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis.
·
Purwanta et al. 2009. Identifikasi
Cacing Saluran Pencernaan
(gastrointestinal) Pada Sapi Bali
Melalui Pemeriksaan Tinja Di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, Juni
2009, Vol. 5 No. 1 ISSN 1858-4330.
·
Rangga, Charles. 2012.
Penyakit Ayam dan Penganggulanganya.
Yogyakarta. Kanisius.
·
Rofiq, muhammad. 2014. Jenis Cacing Pada Feses Sapi Di TPA
Jatibarang
dan KTT Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang.
Semarang : Universitas Negeri Semarang.
PEMBAHASAN
PINJAL
Vektor
berasal dari bahasa latin yaitu vehere yang mempunyai arti pembawa (agent).
Pengertian vektor adalah golongan arthropoda atau binatang yang tidak bertulang
belakang lainnya (avertebrata) yang dapat memindahkan penyakit dari sumber
(reservoir) ke pejamu. Vektor yang diambil dalam pembahasan ini adalah pinjal
atau dikenal dengan kutu loncat (fleas) yang terdapat pada tikus,kucing
dan anjing.
Taksonomi
Pinjal
·
Kingdom : Animalia
·
Phylum :
Arthropoda
·
Class : Insecta
·
Ordo : Siphonaptera
·
Family : Pulicidae
·
Genus : Ctenocephalides
·
Species : Ctenocephalides felis
Ctenocephalides canis
Pinjal termasuk dalam bangsa Siphonaptera. Beberapa suku yang
terdapat di Indonesia antara lain Pulicidae, Ischnopsyllidae,
Hystrichopsyllidae, Pygiopsyllidae, Ceratophyllidae dan Leptosyllidae. Pinjal
tikus dan kucing yang umum ditemukan termasuk dalam Pulicidae. Pinjal berbentuk
tubuh menyerupai biji lamtoro pipih kesamping; berukuran + 3 mm; seluruh
tubuh tertutup bulu-bulu; mulut berupa mulut penusuk dan penghisap. Kaki ke
tiga dari pinjal berukuran lebih besar dan lebih panjang daripada dua pasang
kaki lainnya sehingga memungkinkannya untuk melompat. Lompatannya sangat jauh
dan tinggi dibandingkan ukuran tubuhnya. (Dhyan et al. 2008)
Pinjal termasuk dalam ordo siphonaptera yang bersifat parasitik
pada stadium dewasa.pinjal memiliki tbuh pipih pada kedua sisi lateral dan ras
pertama pada setiap kakinya berukuran besar sehingga mempunyai kemampuan untuk meloncat.
Pinjal pada unggas salah satu spesiesnya yaitu Echidnophaga galinacea,
yang ditandai dengan bagian mulut yang terbenam didalam kulit hospes sehingga
sukar dilepas. Kerugian yang ditimbulkan oleh pinjal tersebut berhubungan
dengan iritasi dan kehilangan darah, serta penurunan produksi. (Charles Rangga.
2012)
Flea dalam bahasa Indonesia berarti pinjal, yaitu insecta kecil yang
sering berada pada anjing atau kucing. Pinjal mempunyai bentuk pipih vertical,
warna parasit ini coklat kehitaman dan sering bergerak cepat di dasar kulit
hewan. Pinjal dewasa hidup dari menghisap darah anjing,kucing atau manusia. Air
liur(saliva) pinjal tersebut ikut masuk dalam kulit. Air liur pinjal itulah
yang menyebabkan radangkulit (dermatitis) disertai reaksi alergi. (Soeharsono.
2011).
Kepala,
dada, dan perut pinjal terpisah secara jelas dan terdapat tiga pasang kaki pada
dada dan satu pasang terakhir sangat besar, sehingga menjadikan mereka mampu
untuk melompat. Pinjal tidak memiliki sayap. Pinjal memiliki mata dan antena,
yang mendeteksi panas, getaran, karbon dioksida, bayangan, dan perubahan arus
udara, yang semuanya menunjukkan makan yang mungkin ada di dekatnya. Serangga
ini berwarna coklat seperti biji mahoni, ditemukan hampir di seluruh tubuh
inang yang ditumbuhi rambut. Pinjal dewasa parasitik, sedang pradewasanya hidup
di sarang, tempat berlindung, atau tempat-tempat yang sering dikunjungi tikus.
(Emi Rahmawati. 2013).
Pinjal
dewasa berukuran 1,5 – 4 mm, berwarna cokelat muda atau cokelat tua, tubuh
terbagi menjadi 3 bagian : kepala (caput, cephalus), dada (thorax)
dan perut (abdomen) yang terbagi secara jelas, tidak bersayap,
bertungkai panjang terutama sepasang tungkai belakang (mampu melompat tinggi
dan jauh), serta dilengkapi sisir sisir pada dua tempat : Genal comb dan
thoracal comb. Pinjal berberak aktif diantara rambut-rambut hospes.
(Arni dyan. 2013).
Pinjal
ditemukan dekat dengan induk semangnya, baik di rambut, bulu-bulu atau di
sarangnya. Pinjal dewasa menghisap darah induk semang. Contoh pinjal adalah
pinjal kucing (Ctenophalides felis) dan pinjal tikus (Xenopsylla
cheopis). Infestasi pinjal bahkan pernah menyebabkan epidemi pes di daerah
Boyolali, Jawa Tengah pada akhir 1960an. Hal ini disebabkan karena pinjal dapat
menularkan bakteri Yersinia pestis, penyebab penyakit pes, dari tikus ke
manusia. siklus hidup yang dijalani pinjal merupakan metamorfosa sempurna yaitu
telur-larva-pupa-dewasa. Larva yang baru menetas tidak memiliki kaki. Fase pupa
adalah fase yang tidak memerlukan makanan. (Dhyan et al. 2008).
Sebelum
dideterminasi/ identifikasi, ektoparasit yang berkulit lunak seperti kutu,
larva tungau dan caplak direndam terlebih dahulu dalam larutan chloral phenol
selama 24 jam. Kemudian ektoparasit diletakkan secara hati-hati di atas gelas
obyek yang sudah diberi larutan Hoyer’s. Posisinya diatur sedemikian rupa
sehingga tertelungkup, kaki-kaki terentang, dan bagian kepala menghadap ke
bawah. Dengan jarum halus ektoparasit tersebut ditekan secara perlahan-lahan
sampai ke dasar gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup secara hati-hati
(Kranz, 1978). Untuk ektoparasit yang berkulit keras seperti pinjal, direndam
di dalam larutan KOH 10 % selama 24 jam, selanjutnya dipindah ke akuades, 5
menit, kemudian ke dalam asam asetat selama ½ jam. Pinjal yang telah terlihat
transparan diambil dan diletakkan pada gelas obyek. Posisi diatur sedemikian
rupa, terlihat bagian samping, kaki-kaki menghadap ke atas dan kepala mengarah
ke sebelah kanan, ditetesi air secukupnya dan ditutup gelas penutup (Ristiyanto
et al. 2012).
Yang
membedakan antara Ctenocephalides canis dan Ctenocephalides felis adalah
pada Ctenocephalides canis memiliki dahi yang lebih tinggi dan
duri pertama dari stedium genal lebih pendek dari duri kedua atau duri
berikutnya, sedangkan Ctenocephalides felis memiliki dagu yang
lebih rendah dan datar serta duri pertama dari stadium genal sama ukuran antara
duri petama dan duri seterusnya. Bagian thorac pinjal dibagi kedalam protoneum,
mesonotum dan metanotum.
Pinjal
memiliki tergum, pada tergum ke sembilan mengalami modifikasi seperti alat
penjepit yang berfungsi pada saat terjadinya kopulasi dan untuk
mengindentifikasi pinjal jantan. Alat reproduksi jantan memiliki aedegagus atau
disebut penis berkhitin dan betina memiliki spermatika. Pinjal jantan lebih
kecil dari pinjal betina.
Siklus Hidup
Telur pinjal dalam
2-12 hari akan berubah menjadi larva. Dalam 9-15 hari larva akan berubah
menjadi pupa. Perubahan pupa menjadi dewasa memerlukan waktu selama 7 hari
sampai 1 tahun tergantung kondisi lingkungannya.
Telur pinjal
berwarna putih dan kecil-kecil (+ 0,5 mm, berbentuk oval dan mengkilat), larva
adalah vermiform yang setiap segmennya terdapat setae-setae (rambut) dengan
panjang + 4-10 mm dan larva memakan darah. Larva pinjal mengalami 3 instar dan
tanpa antena sedangkan pupa berbentuk eksarat (seperti larva yang tidak
memiliki selubung). (Rahmawati, emi. 2013)
Ada empat tahap utama dari
siklus hidup kutu: telur, larva, pupa dan dewasa. Dibutuhkan sekitar 30 sampai
40 hari untuk kutu anjing dalam mengerami telur menjadi telur yang
sempurna,meskipun ada beberapa kasus yang menunjukkan siklus ini berlangsung
selama satu tahun.Kutu betina mulai bertelur dalam waktu 2 hari makan darah
pertamanya. Telur yang putih dan kecil (0.5mm) tetapi yang terlihat dengan mata
telanjang. Telur diletakkan pada rambut, bulu atau dalam habitat hospesnya,
mereka kemudian jatuh ke tempat-tempat seperti tempat tidur, karpet atau
perabot. Beberapa kutu meletakkan 3-18 telur sekaligus di dalam tubuh anjing
tersebut,hal ini berpotensi memperbanyak telur hingga 500 telur selama beberapa
bulan. Telur menetas dalam 1-12 hari setelah disimpan kemudian memproduksi
larva seperti cacing yang tidak memiliki kaki dan tidak ada mata.
Larva berwarna putih dan
1,5-5mm panjang dengan pelindung dari bulu tipis. Mereka jarang tinggal di
tubuh inang mereka, kemudian mereka segera mencari daerah tertutup seperti
tempat tidur hewan peliharaan , serat karpet dan retakan pada lantai di mana
mereka mencari makanan sementara menghindari cahaya. Larva memakan berbagai
bahan organik termasuk kulit-kulit yang terjatuh, kotoran hewan dan kotoran
dewasa (terdiri dari darah ). Larva memungkinkan untuk mengganti kulit mereka
untuk tumbuh dan berubah menjadi kepompong sutra selama 5-15 hari. Sisa larva
sebagai pre-pupa selama 3 hari sebelum molting lagi untuk membentuk pupa.
Pupa mengembangkan dalam kokon
dari lima hari sampai lima minggu. Dalam kondisi normal, bentuk dewasa siap
untuk muncul setelah kira-kira 2 minggu tetapi pada temperatur yang lebih
tinggi perubahan akan lebih cepat. Mereka
kadang-kadang tetap tinggal di kokon sampai getaran atau kebisingan dirasakan
(yang mengindikasikan keberadaan manusia atau binatang) yang berarti - karena
tidak ada gerakan bentuk dewasa dapat tinggal di kokon sampai dengan 6 bulan.
Kutu dewasa, tidak bersayap,
ukuran 2-8mm panjang dan lateral dikompresi. Mereka tercakup dalam bulu dan
sisir yang membantu mereka untuk menempel pada host dan memiliki antena yang
dapat mendeteksi dihembuskannya karbon dioksida dari hewan. Antena mereka juga
sensitif terhadap panas, getaran, bayangan dan perubahan arus udara. Semua kutu
bergantung pada darah untuk nutrisi mereka tetapi mampu hidup dalam waktu yang
lama tanpa makan, biasanya sekitar 2 bulan. Dalam kondisi yang menguntungkan
dan disertai dengan sumber t makanan (darah) yang memadai, kutu dapat hidup
sampai satu tahun.
Kerugian dari
Infestasi Pinjal.
Pada hewan kesayangan seperti kucing
dan anjing, infestasi pinjal menyebabkan terjadinya gatal gatal yang dapat
berlanjut menjadi dermatitis. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya keindahan
pada hewan tersebut. Ada hewan ternak seperti ayam, pinjal menyebabkan
terjadinya anemia dan penurunan produks baik teur maupun pertambahan bobot
badan.
Pada
manusia pinjal bertindak sebagai vektor pada penyakit PES. Penyakit pes
merupakan penyakit yang menular dan dapat mengakibatkan kematian. Tikus
merupakan reservoir dan pinjal merupakan vector penularnya,
sehingga penularan ke manusia dapat terjadi melalui gigitan pinjal atau kontak
langsung dengan tikus yang terinfeksi bakteri Yersinia pestis. Pinjal
menggigit tikus hutan yang mengandung kuman pes, kemudian pinjal menggigit
tikus rumah, tikus rumah digigit lagi oleh pinjal lain dan kemudian pinjal
tersebut menggigit manusia. Manusia yang infektif ini bila memiliki kutu (Culex
irritans) dapat menularkan ke manusia lain lagi melalui kutunya. Penularan
yang umum terjadi pada manusia yaitu pinjal menggigit tikus yang mengandung
kuman pes, kemudian pinjal menjadi infektif pes dan menggigit manusia
(Rahmawati, emi. 2013)
DAFTAR PUSTAKA
·
(Dyan, arni. 2013. Hubungan Antara Sanitasi Rumah Warga Dengan
Jumlah Tikus dan Kepadatan Pinjal Di Desa
Selo Boyolali. Surakarta.
Universitas Muhammadiyah Surakarta).
·
(Dhyan et al. 2008. Tungau, Caplak , Kutu dan Pinjal.
Bogor : Jurnal
Indonesia LIPI. Vol 8(2): 29-33. ISSN 0216-9169).
·
(Rangga, Charles.2012. Penyakit
Ayam dan Penganggulanganya.
Yogyakarta. Kanisius).
·
(Rahmawati, emi. 2013. Partisipasi Ibu Dalam Pemasangan Live
Trapp
Terhadap Jumlah Tangkapan Tikus dan Pinjal
Di Desa Sukabumi Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Semarang : Universitas Negeri Semanarang).
·
(Ristiyanto et al. 2012. Indeks Keragaman Ektoparasit Pada Tikus
RumahRattus
Tanezumi dan Tikus Polinesia r.
exulans Di Daerah Enzootik Pes Lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Salatiga : Indeks Keragaman
Ektoparasit.
·
(Soeharsono. 2011. Penyakit
Zoonotik Pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta. Kanisius).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar